Jakarta – Desa Penglipuran di Bangli, Bali, mengalami lonjakan pengunjung selama periode Tahun Baru. Desa yang masuk dalam jajaran 54 desa wisata teratas di dunia versi UN Tourism 2023 itu, tahun lalu dikunjungi sekitar 9.000 wisatawan per hari meskipun kapasitasnya hanya 2.000 pengunjung.
Untuk menampung lonjakan wisatawan tahun ini, Desa Penglipuran tengah mempersiapkan kawasan hutan bambu baru untuk menyambut libur Natal dan Tahun Baru 2025. Hutan bambu tersebut dianggap sakral oleh masyarakat setempat karena memiliki nilai sejarah yang penting.
I Wayan Sumiarsa, Pengelola Desa Wisata Penglipuran, di Denpasar, Selasa, mengatakan kawasan baru tersebut akan menjaga pesona dan kelestarian desa. Selain untuk menampung lebih banyak pengunjung, pemerintah desa juga akan memastikan hutan bambu tersebut dikelola dan dilestarikan dengan baik. Hutan bambu yang luasnya mencapai 45 hektare itu akan dikembangkan sebagai kawasan yang mengedepankan nilai sosial, sejarah, dan ekologi.
“Kami terus berinovasi, dan hutan bambu adalah salah satu upaya itu. Alam yang kami jaga ini adalah kawasan konservasi seluas 45 hektar yang disepakati oleh masyarakat Penglipuran,” katanya.
Cultural Attractions in Penglipuran Village
Ide untuk mengoptimalkan hutan bambu di Desa Penglipuran muncul setelah pengelola dan masyarakat desa melakukan studi dan mengetahui bahwa Desa Penglipuran merupakan satu-satunya desa yang memiliki hutan bambu yang dapat tumbuh subur di lahan datar. Dengan semakin banyaknya pengunjung, inovasi pun dianggap penting.
“Kami sedang menyiapkan fasilitas baru di hutan bambu, dan yang tak kalah penting, untuk periode Natal dan Tahun Baru 2025, kami akan menggelar atraksi budaya bersama pemuda Yowana pada 28 Desember dan 1 Januari, yang kami harapkan dapat menyedot perhatian banyak orang,” kata Sumiarsa.
Selain menikmati waktu di kawasan hutan, pengunjung yang membeli tiket mulai dari Rp25.000 hingga Rp50.000 juga akan dapat menyaksikan Beberongan , tarian tradisional yang dibawakan oleh pemuda Bangli.
Memanfaatkan Hutan Bambu
Prof. I Nyoman Sunarta, akademisi pariwisata dan kepala program doktoral pariwisata di Universitas Udayana, mengatakan keputusan desa untuk membuka kawasan hutan bambu merupakan langkah yang baik. Namun, ia menekankan bahwa alasan utama wisatawan berkunjung adalah untuk merasakan arsitektur desa: tata letak rumah penduduk desa dan karakteristik bambu yang unik di desa tersebut.
Sunarta mengatakan, hutan bambu tidak cukup hanya menjadi jalur bagi wisatawan. Ia menyarankan agar pengelola desa dapat berinovasi dengan membuat pameran pengolahan bambu atau menawarkan kesempatan kepada pengunjung untuk menanam bibit bambu sebagai bagian dari inisiatif mendatang.
“Yang terpenting, rumah bambu harus tetap menjadi titik fokus – atapnya, kebersihannya – dan karena bambu adalah ikon desa, hutan bambu harus dimaksimalkan sebagai objek wisata baru. Saat ini, objek wisata tersebut belum dikembangkan sepenuhnya. Agar berkelanjutan, masyarakat dapat mengadakan pameran tentang cara membuat bambu menjadi rumah bambu baru, yang juga akan memberi pengetahuan kepada wisatawan,” katanya.
Menurut Indonesia.travel, hutan bambu meliputi sekitar 40% dari total luas wilayah Desa Penglipuran. Masyarakat setempat percaya bahwa hutan bambu terkait dengan asal muasal pemukiman desa tersebut. Selain nilai sejarah dan estetikanya, hutan bambu berfungsi sebagai daerah tangkapan air, melindungi desa dari banjir dan kekeringan.
No Responses